1. Akomodasi Kurikulum
a. Model Modifikasi
b. Model Adaptasi
Untuk melakukan adaptasi kurikulum perlu mempertimbangkan:
1)PDBK dengan kecerdasan rata-rata dapat menggunakan kurikulum reguler.
2)PDBK dengan kecerdasan di atas rata-rata (amat cerdas/ IQ ≥ 125) dapat diikutkan program akselerasi.
3)PDBK dengan kecerdasan di bawah rata-rata (IQ ≤ 90) dapat menggunakan mengadaptasi kurikum reguler sesuai dengan karakteristik PDBK ABK.
4)Jenis PDBK tertentu memerlukan program kurikulum plus yaitu program kurikulum tambahan yang bersifat rehabilitatif-kompensatif dan tidak ada di sekolah reguler.
5)PDBK yang tidak mampu mengikuti alternatif a), b), c) di atas dapat digunakan program pembelajaran individual (PPI) dimana kurikulum disusun atas dasar karakteristik PDBK secara individual. Adapun pola yang dapat diterapkan sebagai berikut:
· Membuang sebagian standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dianggap kurang penting bagi kehidupan anak.
· Membuang sebagian kompetensi dasar.
· Menggunakan bagian awal dan membuang di bagian akhir baik pokok bahasan dan atau sub pokok bahasan.
· Membuang bagian awal dan menggunakan di bagian akhir baik pokok bahasan dan atau sub pokok bahasan.
Pengembangan kurikulum model adaptasi dapat dikembangkan dengan cara:
(1) Model Duplikasi
Duplikasi artinya salinan yang serupa benar dengan aslinya. Menyalin berarti membuat sesuatu menjadi sama atau serupa. Dalam kaitannya dengan model kuriukulum, duplikasi berarti mengembangkan dan atau memberlakukan kurikulum untuk siswa berkebutuhan pendidikan khusus secara sama atau serupa dengan kurikulum yang digunakan untuk siswa pada umumnya (reguler). Jadi model duplikasi adalah cara dalam pengembangan kurikulum, dimana siswa-siswa berkebutuhan pendidikan khusus menggunakan kurikulum yang sama seperti yang dipakai oleh anak-anak pada umumnya. Model duplikasi dapat diterapkan pada empat kmponen utama kurikulum, yaitu tujuan, isi, proses dan evaluasi.
(a) Duplikasi Tujuan
Duplikasi tujuan berarti tujuan-tujuan pembelajaran yang diberlakukan kepada anak-anak pada umumnya/reguler juga diberlakukan kepada siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Dengan demikian standar komptensi lulusan (SKL) yang diberlakukan untuk siswa reguler juga diberlakukan untuk siswa berkebutuhan pendidikan khusus, Demikian juga Kompetensi inti (KI), kompetensi dasar (KD) dan juga indikator keberhasilannya
(b) Duplikasi Isi atau materi
Duplikasi isi/materi berarti materi-materi pembelajaran yang diberlakukan kepada siswa pada umumnya/reguler juga diberlakukan sama kepada siswa-siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Siswa berkebutuhan pendidikan khusus memperoleh informasi, konsep, teori, materi, pokok bahasan atau sub-sub pokok bahasan yang sama seperti yang disajikan kepada siswa-siswa pada umumnya/ reguler.
(c) Duplikasi proses
Duplikasi proses berarti siswa berkebutuhan pendidikan khusus menjalani kegiatan atau pengalaman belajar mengajar yang sama seperti yang diberlakukan kepada siswa-siswa pada umumnya/reguler. Duplikasi proses bisa berarti kesamaan dalam metode mengajar, lingkung -an/setting belajar, waktu belajar penggunaan media belajar dan atau sumber belajar.
(d) Duplikasi Evaluasi
Duplikasi evaluasi berarti siswa berkebutuhan pendidikan khusus menjalani evaluasi atau penilaian yang sama seperti yang diberlakukan kepada siswa-siswa pada umumnya/reguler. Duplikasi evaluasi bisa berarti kesamaan dalam soal-soal ujian, kesamaan dalam waktu evaluasi, teknik/cara evaluasi, atau kesamaan dalam tempat atau lingkungan dimana evaluasi dilaksanakan.
(2) Subtitusi
Subtitusi berarti mengganti. Dalam kaitannya dengan model kurikulum, maka substansi berarti mengganti sesuatu yang ada dalam kurikulum umum dengan sesuatu yang lain. Penggantian dilakukan karena hal tersebut tidak mungkin dilakukan oleh siswa berkebutuhan pendidikan khusus, tetapi masih bisa diganti dengan hal lain yang sebobot dengan yang digantikan. Model substansi bisa terjadi dalam hal tujuan pembelajaran, materi, proses maupun evaluasi.
(3) Model Omisi
Omisi berarti menghapus/menghilangkan. Dalam kaitan dengan model kurikulum, omisi berarti upaya untuk menghapus/menghilangkan sesuatu, baik sebagian atau keseluruhan dari kurikulum umum, karena hal tersebut tidak mungkin diberikaan kepada siswa berkebutuhan pendidikan khusus.
Dengan kata lain, omisi berarti sesuatu yang ada dalam kurikulum umum tetapi tidak disampaikan atau tidak diberikan kepada siswa berkebutuhan pendidikan khusus, karena sifatnya terlalu sulit atau mampu dilakukan oleh siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Bedanya dengan substitusi adalah jika dalam substitusi ada materi pengganti yang sebobot, sedangkan dalam model omisi tidak ada materi pengganti.
1) Adaptasi Pembelajaran
Variabel penting dalam pembelajaran, adalah: a) kondisi pembelajaran, b) metode pembelajaran, dan c) hasil pembelajaran. Kondisi pembelajaran berkaitan dengan tujuan pembelajaran, karakteristik mata pelajaran, kendala, dan karakteristik peserta didik. Adaptasi yang dapat dilakuan adalah sebagai berikut:
a) Mengambil standar kompetensi dan kompetensi dasar yang sama dengan kurikulum baku (reguler maupun SLB) namun menurunkan indikator (mengambil sebagian indikator).
b) Mengambil standar kompetensi yang sama dengan kurikulum reguler dan merumuskan sendiri standar kompetensinya.
2) Adaptasi materi pelajaran
Tidak semua mata pelajaran dan atau materi pelajaran membutuhkan adaptasi. Hanya mata pelajaran dan atau meteri pelajaran yang menimbulkan kesulitan sebagai akibat langsung dari kelainannya yang membutuhkan adaptasi. Sebagai contoh dapat disajikan hal-hal sebagai berikut :
Anak tunanetra memiliki keterbatasan dalam persepsi visual, sehingga pelajaran menggambar dapat diadaptasi dengan pelajaran ekpresi lain berkaitan dengan nilai seni. Kemudian materi pelajaran yang banyak membutuhkan fungsi visual diadaptasi dengan pemanfaatan indra pendengaran, taktual, penciuman serta indra lain non visual. Kebanyakan tunanetra kesulitan dalam pembentukan konsep global, mereka memulai pengertian dengan diawali pembentukan konsep detail per detail baru kemudian global.
Anak tunarungu/wicara memiliki keterbatasan dalam persepsi bunyi dan irama, dengan aktivitas bina wicara mereka masih mampu berbicara secara terbatas sekalipun mereka tidak dapat mendengar terhadap apa yang mereka sendiri ungkapkan. Materi pelajaran sebaiknya disajikan dalam bentuk gambar- gambar, terutama dalam pembentukan konsep yang berurutan. Hindarkan kata-kata yang belum dikenal anak, kecuali kata yang sukar tersebut sebagai upaya untuk menambah kekayaan bahasa mereka. Pertanyaan/ soal hendaknya ringkas/ pendek tetapi cukup representatif.
Anak tunagrahita, kesulitan yang amat menonjol adalah fungsi kognisi dan bahkan bila tingkat ketunagrahitaannya berat juga fungsi aspek lain mengalami kelainan. Sebagai contoh bila anak itu mengalami lamban belajar bila dibanding dengan teman rata-rata lain dapat hal-hal sebagai berikut:
·Materi disajikan dalam bobot yang berbeda dengan teman rata-rata lain. Sekalipun dalam satu tujuan pembelajaran yang sama atau dengan kata lain penyederhanaan materi pelajaran sehingga sesuai dengan tingkat kemampuan anak.
·Materi disajikan dengan pendekatan konseptual, maksudnya sebelum anak dituntut untuk menguasai pengertian secara abstrak harus didahului dengan penanaman konsep secara kongkrit dan berulang-ulang.
·Adaptasi materi pelajaran hanya dilakukan terhadap materi-materi yang menimbulkan kesulitan anak.
Bila dalam kelas terdapat peserta didik gifted, maka materi pembelajaran harus dikembangkan/diperkaya secara horisontal dengan bobot yang lebih sulit. Percepatan (akselerasi) penyajian materi secara vertikal dimungkinkan dengan menaikkan kelas yang lebih tinggi yang tidak perlu menunggu pada akhir tahun pelajaran. Pendidik dalam pembelajaran terhadap anak ini hanya bertindak sebagai fasilitator. Perlu diperhatikan bahwa usia sosial dan emosinya sebenarnya masih sama dengan perkembangan emosi dan sosial anak rata-rata, dan hanya perkembangan kognisinya yang lebih cepat bila dibanding dengan anak seusianya.
Anak dengan variabel ketunaan yang lain misalnya tunadaksa dengan kondisi tanpa kaki/ polio pada kedua kaki tentu tidak dibutuhkan adaptasi materi pelajaran. Untuk menghadapi berbagai kendala perlu adaptasi media, alat dan bahan ajar.Telah banyak diciptakan alat-alat dari hasil adaptasi yang khusus dipergunakan untuk anak dengan kebutuhan khusus. Adaptasi tersebut telah dirasakan manfaatnya oleh mereka yang menggunakan. Komputer untuk tunanetra yang dilengkapi dengan screen reader (komputer bicara), kalkulator bicara, mount botten, laser can untuk membantu tunanetra berjalan dll. Alat bantu dengar untuk anak tunarungu/wicara.
Adaptasi sarana/ alat pelajaran/ alat peraga dalam hal ini adalah adaptasi yang setiap saat dapat melakukan pendidik dalam pembelajaran di kelas. Melalui adaptasi tersebut anak dengan kebutuhan khusus dapat melakukan/merasakan/ mengamati seperti apa yang dilakukan oleh anak-anak lain. Di bawah ini beberapa contoh yang mungkin dapat diterapkan dalam pembelajaran untuk adaptasi bahan ajar:
·Untuk peserta didik tunanetra dapat bahan ajar diadaptasi dengan buku braille, buku bicara, buku digital, dll.
·Untuk peserta didik tunarungu dapat disertai gambar/ visualisasi yang dapat mewakili narasi/ teks.
·Dalam mempelajari bangun geometri anak tunanetra harus mempelajari benda asli/ model/ setidaknya gambar timbul, sehinga anak tunanetra dapat meraba, begitu pula mempelajari peta suatu wilyah juga harus berupa peta timbul.Anak lamban belajar menulis harus dilihat kasus demi kasus. Mungkin tulisannya jelek, tidak dapat membedakan antara huruf-huruf tertentu, menulisnya lamban.
·Anak autis perlu meja khusus yaitu meja yang tidak menjadikan anak banyak bergerak.
·Anak polio (kursi roda) diperlukan kursi dan meja yang dapat dijangkau (diturunkan) dan ruang yang cukup untuk menempatkan kursi roda.
·Penempatan sarana dan alat/ buku-buku mudah dijangkau untuk semua anak. Berikut ini contoh silabus yang telah mengalami akomodasi kurikulum.
Dari seluruh penjabaran di atas bahwa PDBK adalah mereka yang mengalami hambatan dalam dirinya. Hambatan yang mereka miliki sangat bervariasi. Perkembangan pemahaman tentang pendidikan, membawa mereka untuk dapat menikmati pendidikan di sekolah regular yakni berada bersama anak- anak regular yang kita sebut sekolah inklusif. Sekolah inklusif semakin banyak ditemukan di beberapa daerah di Indonesia. Kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif pada dasarnya menggunakan kurikulum reguler yang berlaku di sekolah umum. Namun demikian karena ragam hambatan yang dialami peserta didik berkebutuhan khusus sangat bervariasi, mulai dari yang sifatnya ringan, sedang sampai yang berat, maka dalam implementasinya, kurikulum reguler perlu dilakukan modifikasi (penyelarasan) sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Modifikasi (penyelarasan) kurikulum dilakukan oleh tim pengembang kurikulum di sekolah. Tim pengembang kurikulum sekolah terdiri dari: kepala sekolah, guru kelas, guru mata pelajaran, guru pendidikan khusus, konselor, psikolog, dan ahli lain yang terkait.
0 komentar